Senin, 02 April 2012

Si Jampang Jagoan Betawi


Sepasang suami istri itu bahagia sekali setelah melihat bayi mereka lahir dengan selamat. ”Hem, ini dia anak lelaki pertama gue. Lihat dia nampak sehat dan gagah!
Iya Bang ! Anak kita ini nampak gagah sekali ya?
Siapa dulu dong Bapaknya? Orang Banten memang gagah-gagah!” sambung si suami.
Abang selalu mengandalkan asal Abang saja. Tanpa ada aku ibunya yang dari Jampang ini, dia tidak akan pernah ada!
Iya deh! Lalu kita beri nama apa dia?” tanya si suami.
 
Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu itu diberi nama si Jampang. Anak itu tumbuh menjadi seorang pemuda yang benar-benar gagah, ganteng, sebagai pemuda keturunan Banten, ia juga diajari ilmu pencak silat yang sangat terkenal itu ia juga pandai memainkan golok. Jika ia hadir di pesta-pesta keramaian selalu menarik perhatian gadis-gadis remaja.
 
Setelah usianya cukup dewasa dia dinikahkan dengan seorang gadis cantik dari dari Kebayoran Lama. Setelah menikah, si Jampang tidak mau hidup serumah dengan kedua orang tuanya. Ia juga tak mau tinggal di rumah mertuanya. Ia lebih suka hidup mandiri. Suka duka akan dijalaninya bersama dengan istri tercinta.
Demikianlah, setelah mengumpulkan perbekalan yang cukup ia membeli tanah dan membangun rumah sendiri yang sederhana. Ia dan keluarganya pindah ke Grogol, Depok.
 
Ia hidup baik-baik dan bahagia dengan istrinya itu. Namun sayang, setelah dikaruniai anak laki-laki, belum lagi anak itu beranjak remaja, sang istri sudah meninggal. Sejak itu, Jampang hanya hidup dengan anak laki satu-satunya. Anak ini dikenal dengan nama Jampang muda. Dia tumbuh pula menjadi seorang anak muda yang tampan seperti ayahnya.
 
Si Jampang ingin anaknya menjadi orang soleh yang berguna bagi masyarakat. Maka ia titipkan anak itu di pondok pesantren. Kadang-kadang saja anak itu pulang menemui ayahnya karena ia lebih seneng tinggal di pesantren dengan kawan-kawannya.

Sejak ditinggal mati istrinya si Jampang merasa kesepian. Ia makin sedih melihat kenyataan bahwa kehidupan rakyat Betawi banyak yang menderita. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang kaya dan senang. Maka seperti si Pitung, Jampang kemudian merampok harta orang-orang kaya yang kikir lalu diberikan kepada penduduk yang menderita.

Pada suatu hari anaknya pulang ke rumah.”Ayah, saya tak mau lagi mondok di Pesantren. Saya malu sekali, Yah!” kata anaknya
Malu? Malu kenapa Tong?” tanya si Jampang penasaran. Tong adalah panggilan sang ayah kepada anaknya.
Ayah kan orang Banten. Biasanya orang-orang Banten itu alim dan hidup baik-baik. Tapi ayah kok sering merampok? Di Pesantren sudah dibicarakan orang terus. Saya jadi malu sekali, Yah.
Kamu tidak perlu memberi nasihat kepada Ayah. Kamu masih anak kemarin, Tong. Sebenarnya kamu pulang punya maksud apa?” tanya ayahnya.
Saya tidak mau mengaji lagi, Yah.” sahut anaknya.
Payah, kamu Tong. Tadi memberi nasihat seperti kyai, sekarang tidak mau mengaji lagi. Kamu mau jadi apa? Mau jadi tukang pukul seperti ayahmu ini?

si Jampang muda menggelengkan kepala, ”Lho jadi apa maumu Tong? Kamu tidak mau mondok? Kalau begitu, lebih baik nikah saja.
“Saya tidak mau menikah, Yah. Lebih baik sekolah saja. Kalau Ayah mau menikah lagi saya tidak melarang.”
“Ha ha ha,” Jampang tertawa terbahak-bahak, “kalau kamu mau ibu lagi, nanti Ayah carikan.”

Jampang mempunyai seorang kawan di Tambun, bernama Sarba. Di rumah Sarba ini Jampang meneriakkan salam, “Assalamualaikum.”
“Alaikum salam,” jawab orang yang diberi salam dari dalam rumah. Ternyata yang muncul adalah Ciput, pembantu Pak Sarba.
“Pak Sarba ada?” tanya Jampang.
Ciput menjawab sedih, bahwa Pak Sarba sudah meninggal dunia.
“Kasihan, ya,” kata Jampang menyesal.
“Jadi, Mayangsari menjanda, Put?”
 
Ciput mengangguk-angguk.

“Kasihan,” kata Jampang sekali lagi, “tidak disangka.”
Jampang teringat Sarba. Sahabatnya ini orang balk. la mengenalnya sejak kanak-kanak, sama-sama dari Banten. Lalu, menikah ban punya anak bernama si
Abdih. Anak lelaki juga seumur Jampang muda. Tidak lama kemudian Mayangsari keluar dari kamarnya. Melihat sahabat suaminya datang, dia jadi sedih. Dia mengulang cerita tentang Sarba yang sudah lama meninggal dunia.
“Waktu itu Bang Sarba sakit apa Mayang, kok saya tidak diberitahu?”
“Ceritanya panjang sekali, Jampang. Ketika abangmu belum punya anak, kita berdua pernah pergi ke Gunung Kepuh Batu. Ziarah ke makam sambil memohon agar diberi anak. Juru kuncinya bernama Pak Samat, menerima kedatangan kita berdua. Pak Samat membaca doa dan mantra sambil membakar kemenyan hingga keluar setan dari makam itu.”
“Seram juga Mayang. Saya tidak tahan kalau sendirian di makam begitu seramnya.”
“Mengejek terus Jampang. Saya teruskan ceritanya. Abangmu bertanya kepada setan itu. Apakah saya bisa punya anak? Setan itu manggut-manggut. Bang Sarba senang sekali mendengar akan dapat anak lelaki. Lalu dia janji, kalau sudah lahir jabang bayi, dia akan bawa sepasang kerbau ke makam Gunung Kepuh Batu!”
“Selanjutnya bagaimana, Mayang?”
“Saya dan abangmu pulang. Beberapa bulan kemudian saya mengandung. Kemudian, lahir anak laki-laki, itulah si Abdih. Saat berumur lima betas tahun, dia ingin sekolah, Tetapi, abangmu bingung karena sulit hidup. Lalu, abangmu mengajak saya dan Abdih ke Betawi. Abangmu mau menenteramkan hati saya dan anak lelakinya. Di sini abangmu sakit, lalu meninggal. Menurut dukun iantaran dia lupa janjinya dulu.”
Jampang termangu-mangu.
“Orang kalau akan meninggal ada-ada saja caranya, Mayang. Seperti abang saya itu. Mengajak pergi ke Betawi, tiba-tiba pergi. Dia orang baik, Mayang.”

Jampang sedih. Lalu dia bertanya di mana si Abdih.
“Sekolah di Bandung,” kata Mayangsari.
“Mayang tidak perlu bingung memikirkan Abdib,” kata Jampang.
“Mang mungkin tidak bingung, Jampang. Sekolah di Bandung itu perlu biaya besar. Kan uangnya susah.”
“Anak sekolah di Bandung biar saja, jangan ikut dipikir,” kata Jampang lagi, “pokoknya nanti saya yang akan mengurus dia.”
“Kalau bukan saya yang mengurus siapa lagi, Jampang?” kata Mayangsari. “Makan dan pakaiannya, semua dari saya. Harta sudah babis, tak ada lagi yang tersisa.”
“Begini, Mayang” kata Jampang akbirnya, “Mayang sudah menjadi janda dan saya duda, lebih baik kita menikah, Klop. Mau apa lagi?”
Mayangsari kaget, lalu marah besar.
“Jangan bicara sembarangan. Jampang!” Mayangsari mulai marah. “Meskipun saya janda dan tidak punya suami lagi, tetapi tidak bisa sembarangan orang menghina. Kalau kamu ingin menikah, nikahlah, urus sendiri dirimu. Mau cari janda, perawan, atau banci, itu urusanmu, tetapi jangan dengan saya. Tidak akan pantas!”
Jampang malu sekali. Dia cepat keluar dari rumah itu. Di balaman depan dia melihat Mayangsari menutup pintu rapat-rapat, tanda kalau Jampang tidak bakal diterima lagi di rumahnya.

Di jalan, Jampang bertemu Ciput.
“Saya malu sekali, Put!” Jampang menceritakan sedikit pengalamannya dengan Mayangsari. “Padahal saya senang sekali dengan Mayang. Dia masih cantik. Bekas istri teman sendiri. Apa salahnya? Itu tandanya mengbormati kawan yang sudab almarhum, tetapi tiba-tiba dia marah besar. Kalau dia menikah dengan saya hartanya tidak akan pergi kemanamana. Setuju, Put’?”
Pembantu perempuan yang tidak pernah lepas dari Mayangsari itu dibujuk Jampang.
“Pokoknya nanti beres, Ciput,” janji Jampang. Tiba-tiba pintu rumab terbuka. Tampak Mayangsari makin marah.
“Ciput, masuk!” teriaknya.
Pembantunya menurut. Dia masuk rumab. Langsung ke biliknya di belakang.
Lalu, Mayangsari berteriak sambil melotot ke arah Jampang.
“Pergi, Jampang! Pergi!” Tetapi, Jampang masih tetap berdiri di tempatnya. Mayangsari makin berapi mendekati Jampang. “Jangan ikut campur masalab saya lagi, Jampang. Pergi kata saya!”

Belum sempat berkata apa-apa, Mayangsari sudah meninggalkan Jampang. Dia menutup pintu dan jendela-jendela rumab. Tidak peduli pada Jampang yang terpana.
“Sial sekali saya hari ini. Mayangsari, kamu akan menyerah. Kamu belum tabu siapa saya!”
Jampang berjalan lesu. Untuk mendapat kesenangan memang harus bekerja keras. Juga untuk mendapatkan perempuan secantik Mayangsari. Umur Mayangsari masih sekitar tiga puluh tahun. Jampang menuju rumah Sarpin, keponakannya, kebetulan ada di rumab.
“Saya perlu seorang dukun, Pin,” katanya kepada Sarpin.
Sarpin beran. “Buat apa, Mang?”

Jampang lalu menceritakan kembali pengalamannya dengan Mayangsari.
“Memang cinta sekali kalau begitu, Mang.”
“Jangan banyak bicara kamu,” tukas Jampang, “owl dukunnya!”
“Perkara dukun gampang, Mang. Saya tabu benar dukun yang manjur, Namanya Pak Dui dari kampung Gabus. Pintar sekali. Pokoknya orang yang diguna-guna pasti akan terkena. Setuju ke rumahnya, Paman?”
“Makin cepat makin bagus,” jawab Jampang.
Malam itu juga mereka pergi. Mereka berjalan membawa dua obor. Satu di tangan Jampang dan satu di tangan Sarpin. Pakaian mereka hitam-hitam. Golok terselip di pinggang. Di leher terkalung sarung sebagai penahan dingin udara malam. Mereka berjalan melewati pematang-pematang sawah dan menerobos kebun-kebun orang, serta melewati kuburan yang sepi. Obor mereka terus menyala. Sering obor itu ditunggingkan ke bawah, agar minyaknya turun ke api sebingga nyala api lebib besar. Akhirnya, sampailah mereka di rumah Pak Dul, dukun kampung Gabus yang terkenal.
“Saya minta guna-guna, Dukun, agar Mayangsari tergila-gila kepada saya,” kata Jampang terus terang tanpa malu-malu.

Jampang juga menyerahkan salam tempel ke tangan Pak Dul. Dengan gembira dukun memasukkan isi salam itu ke dalam kantong bajunya. Dia baca jampi-jampi. Mulutnya komat-kamit. Tidak lama kemudian Jampang diberi guna-guna. Sebelumnya, Jampang diberi tahu cara penggunaannya. Lalu, Jampang dan Sarpin pulang tergesa-gesa.

Pikiran Jampang selalu ke Mayangsari. Tidak peduli kaki sebelahnya terperosok ke dalam lumpur.
Mayangsari menggodanya, membawanya ke alam mimpi. Keponakannya repot karena jalannya jauh tertinggal di belakang. Guna-guna itu sudah diletakkan di rumab Mayangsari oleb Jampang. Begitu terkena, Mayangsari langsung gila. Dia sering tertawa-tawa. Berpakaian semaunya, tidak malu sama sekali, terutama kepada setiap lelaki yang lewat di depan rumahnya. Ketika Abdih pulang dari Bandung, kontan Mayangsari mencium dan memeluknya.
“Jampang! Jampang yang tampan!” Mayangsari merayu-rayu.

Abdih kaget serta sedih sekali melibat perubahan ibunya.
“Mari Jampang! Mari peluk lebib erat!”

Anaknya segera menyadarkan ibunya.
“Bu Bu! Sadar. Bu!”

Ciput pembantunya yang setia datang mendekat. “Kenapa Ibu sampai begini, Ciput?”
“Barangkali gara-gara Jampang,” kata Ciput, “dia pernah ke sini dan mengajak menikah ibumu, tapi ditolak.

Dia bilang lebib baik gila daripada menikah dengan Jampang.”
“Jadi. Ibu langsung begini?”

Ibu seperti kena guna-guna,” kata Abdih, ”Pelakunya tentu Mang Jampang. Sungguh bikin malu. Saya malu sekali. Dukun mana yang bisa menyembuhkan Ibu, Ciput?

Ciput belum pernah tahu soal guna-guna. Jadi, dia tidak bisa menjawab. Abdih bertanya kesana kemari. Akhirnya dapat berita. Pak Dul di kampung Gabus. Karena dukun itu sendiri yang membuat, dengan tidak menemui kesukaran dia pula yang mencabut guna-gunanya. Mayangsari seketika sembuh. Tidak ingat lagi kepada si Jampang.

Sesudah itu Abdih mencari Jampang. Ia marah tapi ketika bertemu Jampang ia malah tak bisa bersikap keras. Terpaksa ia bicara baik-baik.
Bisa atau tidak bisa, saya harus menikah dengan Ibumu, Abdih,” kata Jampang menegaskan.
Saya tidak melarang, Mang Jampang,” jawab Abdih yang ketakutan juga, ”Tetapi ada syaratnya, Mang Jampang harus menyerahkan sepasang kerbau sebagai emas kawinnya.
Saya tidak keberatan, Abdih. Saya akan usahakan!
Abdih pulang menyampaikan kesanggupan Jampang kepada ibunya.

Dari mana dapat kerbau sepasang ? Harga kerbau sepasang sangat mahal. Jampang tidak punya uang. Namun, dia segera ingat Haji Saud di Tambun. Dia kaya sekali. Sawahnya luas, kerbau dua ekor bukan apa-apa. Ke tempat itulah Jampang dan Sarpin pergi merampok dengan mudah. Ketika dia dengan Sarpin akan keluar dari pintu desa, sekawanan polisi sudah mengepung. Mereka menunjukkan laras-laras senapan kearah Jampang dan Sarpin. Tertangkaplah Jampang. Jampang pun tidak bisa melakukan perlawanan.

Orang-orang kaya, tuan-tuan tanah, serta pejabat pemerintah Belanda merasa gembira melihat Jampang telah dipenjara dan akhirnya dihukum mati. Sebaliknya, rakyat kecil, para petani dan mereka yang menderita amat sedih. Walaupun Jampang sering merampok, dia tidak pernah menikmati sendiri hasil rampokannya. Bagi rakyat kecil Jampang adalah sosok pahlawan mereka sering mendapat pembagian hasil rampokan dari orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah yang tamak dan kikir.

Jampang menemui nasib naas ketika merampok sepasang kerbau yang hendak digunakan sebagai Mas Kawin bagi Mayangsari, yang berarti untuk kepentingannya sendiri. 
 
referensi :
http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/jampang.html
 
Kesimpulan dari cerita diatas menurut saya:
Walaupun si Jampang mencuri bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk membantu rakyat kecil tetapi memang cara yang tidak benar, tidak halal, dan tidak boleh ditiru oleh siapapun, karena walaupun niatnya baik tetap saja caranya tidak bisa dibenarkan.
Dalam kehidupan sehari-hari pun demikian, kita harus berusaha dan selalu berdoa, serta mensyukuri segala nikmat dan rezeki dari Allah Swt walaupun sedikit, karena orang yang giat berusaha dan berdoa tidak selamanya akan berada dibawah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar